Welcome to my blog :)

rss

Selasa, 02 November 2010

ENSIKLOPEDI KAPOLRI edisi 2



















Selamat & Sukses

Atas terpilihnya

Konjem. Pol. Drs. Timur Pradopo

menjadi

Kepala Kepolisian Republik IndonesiaTahun 2010



BIOGRAFI TIMUR PRADOPO (KAPOLRI 20)

Nama : Komjen. Pol. Drs Timur Pradopo
Jabatan terakhir : Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Polri (2010)
Tempat Lahir : Jombang, 10 Januari 1956
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Lulus Akpol : 1978
Istri : Rianti Sari Andayani
Anak : Moh. Bimo Aryo Seto
Dhea Istigfarina Miranti


Pendidikan Timur Pradopo :

Akademi Kepolisian (1978)
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) (1989)
Kejuruan: PA Lantas
Sekolah Staf dan Pimpinan Polisi (Sespimpol) (1996)
Sekolah Staf Administrasi Tingkat Tinggi (Sespati Polri), (2001)
Karier Komjen Timur Pradopo :
Perwira Samapta Poltabes Semarang
Perwira Operasi Satuan Lalu Lintas Semarang
Kepala Seksi Ops Poltabes Semarang
Kapolsekta Semarang Timur
Kabag Lantas Polwil Kedu
Kasubag Ops Dit Lantas Polda Metro Jaya
Kasat Lantas Restro Jakarta Pusat
Kapolsek Metro Sawah Besar
Waka Polres Tangerang
Kabag Jianma Dit Lantas Polda Metro Jaya
Kapolres Metro Jakarta Barat (1997-1999)
Kapolres Metro Jakarta Pusat (1999-2000)
Kapuskodal Ops Polda Jawa Barat (2000)
Kepala Polwiltabes Bandung (2001)
Kakortarsis Dediklat Akpol (2002)
Irwasda Polda Bali (2004)
Kapolda Banten (2005)
Kaselapa Lemdiklat Polri (2008)
Staf Ahli Bidang Sosial Politik Kapolri (2008)
Kapolda Jawa Barat (2008-2010)
Kapolda Metro Jaya (2010)
Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan
(Kabaharkam) Polri (2010)

* Penghargaan Komjen Timur Pradopo :Satya Lencana 16 Tahun

* Penghargaan : - Satya Lencana Kesetiaan 8 Tahun
- Satya Lencana Karya Bhakti
- Satya Lencana Ksatria Tamtama












B
IOGRAFI Singkat KAPOLRI
194
5
-
2
010

BIOGRAFI SOEKANTO TJOKRODIATMOJO (KAPOLRI 1)

Komisaris Jenderal (Pol.) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (lahir di Bogor, Jawa Barat tanggal 7 Juni 1908 - ?) adalah Kepala Kepolisian Negara Indonesia (Kapolri; dulu bernama Kepala Djawatan Kepolisian Negara) pertama, menjabat dari 29 September 1945 hingga 14 Desember 1959 .

Soekanto adalah mertua dari Sawito Kartowibowo, seorang tokoh yang namanya mencuat pada tahun 1976 dalam Perkara Sawito. Namanya diabadikan dalam nama sebuah rumah sakit di Jakarta, Rumah Sakit Polri Soekanto di Kramat Jati.


BIOGRAFI SOEKARNO DJOJONAGORO (KAPOLRI 2)

Komis
aris Polisi Soekarno Djojonegoro (Banjarnegara,15 Mei 1908 – Jakarta, 27 November 1975 ) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (dulu bernama Kepala Kepolisian Negara) dari 15 Desember 1959 hingga 29 Desember 1963 .

Awal hidup dan karir :
Ia adalah anak keempat Bupati Banjarnegara, Raden Adipat Adipati Djojonegoro II. Karir kepolisiannya dimulai pa
da tahun 1928 , setelah ia menamatkan pendidikannya di Osvia. Jabatan pertamanya adalah AIB di Jatibarang. Ia kemudian menjadi Mantri Polisi Residen Jepara Rembang (1931), Asisten Wedana Banyumas (1934), Asisten Residen Lampung (1935), Mantri Polisi Kedungwuni, Pekalongan (1936), Asisten Wedana Polisi Tegal (1941), Kepala Seksi IV Polisi Kota Semarang (1942), Kepala Polisi Salatiga (1943), Kepala Polisi Istimewa Kota Semarang (1944), Keibikatyo Kota Semarang (1944), Kepala Polisi Kendal (1945), Kepala Umum Kantor Besar Polisi Semarang (1945), Kepala Polisi Karesidenan Pekalongan (Februari 1950), Kepala Polisi Karesidenan Surabaya (Agustus 1950), (Desember 1950), dan Ajun Kepala Kepolisian Negara (November
1959).

Sebagai Kepala Kepolisian Negara :
Pada 15 Desember 1959 , Djojonegoro dilantik menjadi Kepala Kepolisian Negara menggantikan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Beberapa peristiwa semasa ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara: - 1960 : Kepolisan Negara bergabung dalam ABRI - 1 Juli 1960 : empat janji prajurit kepolisian, "CATUR PRASETYA" diikrarkan - April 1961 : Catur Prasetya resmi dijadikan pedoman kerja kepolisian RI selain TRIBRATA sebagai pedoman hidup -1962 : Kepolisian Negara Republik Indonesia berubah nama menjadi Angkatan Kepolisian RI (AKRI) Masa kepemimpinannya ditandai konflik dengan Belanda dan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan , /TII, APRA dan lain-lain, namun hal-hal tersebut ditanganinya dengan baik.

Setelah Kapolri dan akhir hidup :
Ia digantikan Ajun Komisaris Besar Polisi Soetjipto Danoekoesoemo pada 30 Desember 1963 dan segera diangkat menjadi Menteri Penasihat Presiden untuk Urusan Dalam Negeri. Djojonegoro memasuki masa pensiun mulai 31 Juli 1966. Hari-harinya dinikmatinya dengan berkumpul bersama keluarga. Djojonegoro meninggal dunia di , Jakarta. Ia meninggalkan istrinya, R.A. Sukatinah, dan lima orang anak. Sesuai permintaannya, jenazahnya dimakamkan di makam khusus untuk pemakaman keluarga Djojonagoro, "Suwondo Giri" di Banjarnegara.

BIOGRAFI SOETJIPTO DANOEKOESOEMO (KAPOLRI 3)

Inspektur Jenderal Soetjipto Danoekoesoemo (lahir di Tulungagung pada 28 Februari 1922 ) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dari 30 Desember 1963 hingga 8 Mei 1965 . Masa kecilnya dihabiskan di bangku HIS,MULO dan SMA-C. Ia kemudian mengikuti pendidikan di Kotoka I (Sekolah Bagian Tinggi Kepolisian) Sukabumi (1943). Setelah tamat, Danoekoesoemo diangkat menjadi Komandan Batalyon Polisi Istimewa Surabaya(1945).

Soetjipto kembali mengikuti pendidikan Hersholing Mobrig di Sukabumi (1950). Setelah itu, ia diangkat menjadi Wakil Koordinator dan Inspektur Polisi Jawa Timur (1951), dan Wakil Koordinator dan Inspektur Mobrig Polisi Jawa Tengah (1954). Ia lalu dikirim ke untuk memperdalam untuk memperdalam ilmu kepolisian. Akhir tahun 1960, dia ditempatkan sebagai Ajun Komisaris Besar Polisi Kastaf pada Markas Pimpinan Komandan Mobrig Polisi Pusat.

Tahun 1961, Soetjipto menempuh pendidikan militer-kepolisian di Advance Army School, Fort Benning, , dilanjutkan dengan pendidikan di Army Command & General Staff College, Fort Leavenworth, serta kursus pertahanan sipil di . Sekembalinya ke Indonesia, ia dipromosikan menjabat Komandan Mobrig Polisi Pusat (1962). Dua tahun kemudian, Soetjipto dilantik menjadi Kepala Kepolisian Negara (1964) menggantikan Jenderal Pol. Soekarno Djojonagoro.

Beberapa peristiwa semasa menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara:
19 Maret 1965 - Sekolah Staf dan Komando Angkatan Kepolisian (Seskoak) di , Bandung, didirikan. 15 Maret 1965 - pemberlakuan KUHP Tentara, HAP Tentara dan KUDT bagi anggota Ia digantikan. Selepas itu, ia menjadi Duta Besar Rl untuk Bulgaria (1966-1969) dan lalu menjadi anggota DPRGR dan MPRS (1970), serta Anggota DPR-MPR RI selama empat tahun (1971-1974).

Banu juga sadar dalam menjalankan tugasnya Polri memerlukan dialog yang terus menerus dengan masyarakatnya. Maka Banu pun mengeluarkan konsep "Senyum, Sapa dan Salam". Banurusman yang lahir di Tasikmalaya, 28 September 1941. Di kota kecil di kaki Gunung Galunggung itulah Banu menghabiskan masa remajanya, dengan me-namatkan pendidikan di SMA Negeri Tasikmalaya. Lalu, pada tanggal 1 September 1961, dia masuk dinas kepolisian dengan mengikuti serangkaian pendidikan kepolisian, hingga tamat pada Februari 1965 dengan pangkat Letnan Satu.

BIOGRAFI SOETJIPTO JOEDODIHARDJO (KAPOLRI 4)

Soetjipto Joedodihardjo (Jember, 27 April 1917 – 26 Maret 1984) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dari 9 Mei 1965 hingga 8 Mei 1968 .

Joedodihardjo dilahirkan di Jember, pada 27 April 1917 . Pada masa kecilnya ia belajar di HIS , KAE, MULO dan menamatkan MOSVIA pada tahun 1939.

Soetjipto kemudian menjadi ambtenaar (pegawai negeri) dengan menjabat sebagai AIB Tanggul / Besuki (1939). Kemudian AIB di kota kelahirannya, Jember , tahun 1940. Sesudah itu kariernya berjalan dengan mantap dan terus menanjak. Ia berturut-turut menjadi Manteri Polisi Situbondo (1941), Mantri Polisi Surabaya (1941), Mantri Polisi Bondowoso(1942), Mantri Polisi Kalisat /Jember (1942), dan Itto Keibu Bondowoso (1943). Dari sini, dia mendapat latihan ilmu kepolisian di Taiwan (1944). Sebulan menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI, dia masih menjadi Itto Keibu di Bondowoso.

Dua bulan setelah Kemerdekaan RI, tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1945, Soetjipto menjadi Inspektur Polisi Kelas I pada Pasukan Polisi Istimewa Besuki (1945). Prestasinya menanjak, ketika dia ditarik ke Surabaya sebagai Wakil Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur (1947). Kemudian menjadi Komandan Mobrig Polisi Jakarta Raya (1950), Komandan Mobrig Polisi Jawa Timur (1950), Komisaris Polisi Kelas I pada Jawatan Kepolisian Negara (1954), Lektor PTIK (1960), Komandan Komandemen Mobrig Pusat (1960), Asisten II Kastaf Komisaris Jenderal MBPN (1962), Kepala Pusat Pertahanan Sipil(1962).

Menginjak tahun 1962, Soetjipto sempat dikirim ke AS untuk satu setengah bulan. Dan, tahun ini pula, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV , Komisaris Besar Polisi Soetjipto ditunjuk menjadi Pimpinan Harian Organizing Committeenya. Tiga tahun kemudian, 1965, dia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara untuk masa jabatan sampai 1968. Semasa kepemimpinan Joedodihardjo ini, mulai berdiri Akademi Angkatan Kepolisian ( 1 Oktober 1965 ). Namun, pada 16 Desember 1965 , pendidikan akademi itu disatukan ke dalam pendidikan ABRI dan namanya menjadi AKABRI Bagian Kepolisian.

Menjadi Menteri / Pangak RI Masa kepemimpinan Kapolri R. Soetjipto Joedodihardjo penuh dengan gejolak. Sebab inilah masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada 9 mei 1965 , Presiden Soekarno melantik Raden Soetjipto Joedodihardjo menjadi Menteri/Pangak RI berpangkat Inspektur Jenderal Polisi.

Nama Departemen Angkatan Kepolisian (Depak) diubah menjadi Kementerian Angkatan Kepolisian (Kemak). Perubahan ini sehubungan dengan keluarnya Keputusan Presiden 27 Maret 1966 tentang susunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi (Dwikora III). Namun namanya berubah lagi menjadi Depak, pada 21 Agustus 1966. Hal ini dilakukan menyusul pembentukan organisasi Kabinet Ampera . Struktur organisasi kepolisian pun beberapa kali berubah karena kondisi dan situasi politik ketika itu agak memanas.

Jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian digantikan oleh Drs.Hoegeng Imam Santoso. Kemudian ia mulai memasuki masa persiapan pensiun. Pada 1 November 1972 , dia pensiun dari jajaran kepolisian. Pada tanggal 26 Maret 1984, Joedodihardjo meninggal dunia.

BIOGRAFI HOEGENG IMAM SANTOSO (KAPOLRI 5)

Hoegeng Imam Santoso (Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921 - 14 Juli 2004) adalah salah satu tokoh Militer Indonesia yang berpengaruh dan juga salah satu penandatangan Petisi 50. Dia masuk pendidikan HIS pada usia enam tahun, kemudian melanjutkan ke MULO (1934) dan menempuh sekolah menengah di AMS Westers Klasiek (1937). Setelah itu, dia belajar ilmu hukum di Rechts Hoge School Batavia tahun 1940. Sewaktu pendudukan Jepang, dia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Baru dia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.

Banyak hal terjadi selama kepe-mimpinan Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Pertama, Hoegeng melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut Struktur Organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Kedua, adalah soal perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969, sebutan Panglima Ang-katan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun ber-ubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabak).

Perubahan itu membawa sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya, sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Demikian pula sebutan Seskoak menjadi Seskopol. Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Inter-pol di Jakarta.

Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, George, AS. Dari situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956) di Medan. Tahun 1959, mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Di situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966. Terakhir, pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969, namanya kemudian berubah menjadi Kapolri), menggantikan Soetjipto Joedodihardjo. Hoegeng mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971, dan digantikan oleh Drs. Mohamad Hasan.

Itulah Hoegeng, yang banyak dikenal sebagai tokoh yang penuh kesederhanaan. Sampai kini, kendati tidak lagi duduk di jabatan pemerintahan, dia masih mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Hoegeng sendiri, atas semua pengabdiannya kepada negara, telah menerima sejumlah tanda jasa, seperti Bintang Gerilya, Bintang Dharma, Bintang Bhayangkara I, Bintang Kartika Eka Paksi I, Bintang Jalasena I, dan Bintang Swa Buana Paksa I..Dia pun menerima sederet Satya Lencana, misalnya SL Sapta Marga, SL Perang Ke-merdekaan (I dan II), SL Peringatan Kemerdekaan, SL Prasetya Pancawarsa, SL Dasa Warsa, SL GOM I, SL Yana Utama, SL Penegak dan SL Ksatria Tamtama.

BIOGRAFI MOHAMAD HASAN (KAPOLRI 6)

Jenderal Purnawirawan Mohamad Hasan (Muara Dua, Palembang, 1920–23 Februari 2005) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tahun 1971–1974. M. Hasan pernah menjadi anggota MPR dan
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia (1974-1978). Ia juga telah menerima 17 bintang tanda jasa.
Ia meninggal dunia pada 23 Februari 2005 karena menderita sesak nafas dan dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Hasan meninggalkan seorang istri, Nani Hasan dan sembilan anak.

BIOGRAFI WIDODO BUDIDARNO (KAPOLRI 7)

Widodo Budidarmo lahir di Surabaya , Indonesia pada 1 September 1927. Dia mengenyam pendidikan umum di HIS (1934-1941), lalu melanjutkan ke Sekolah Teknik (1942-1946). Semasa dalam pendidikan sekolah menengah itu, dia sudah aktif mengangkat senjata untuk ikut dalam Perang Kemerdekaan di Jawa Timur. Betapa pun, dia masih dapat menyelesaikan SMA-nya tahun 1950 . Widodo kemudian memasuki karir kepolisian, dan belajar di PTIK hingga lulus pada 1955. Setelah itu, dia menjabat Kabag Organisasi Polisi di Purwakarta selama tiga tahun, 1956-1959. Selama masa itu pula dia ikut dalam Operasi Penumpasan Gerombolan DI/TII di Jawa Barat.

Ada satu prestasi Kapolri Widodo Budidarmo yang harus dicatat dalam lembar perjalanan kepolisian, yaitu ketika Polri sepakat mendirikan Kantor Bersama 3 Instansi (Samsat) di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Ketiga instansi itu masing-masing adalah Polri, Pemda DKI Jakarta dan Perum AK Jasa Raharja mencapai kata sepakat untuk membuka kantor seatap di Polda. Program bersama ini dioperasikan dalam rangka pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, seperti STNK, BPKB dan lain-lain. Di masa Widodo pula Pemerintah mengeluarkan UU No. 9 tentang Narkotik, tertanggal 26 Juli 1976. Juga, di masa Kapolri Widodo pula diterbitkan sebuah Skep Kapolri yang khusus mengenai Satama Satwa guna menunjang langkah-langkah operasional Polri (1977).

Pada awal 1960, dia pergi ke AS untuk memperdalam ilmu militernya di US Coast Guard Officers Candidate School, dan rampung tahun 1960. Pulang dari AS, Widodo menjabat Kabag Operasi Polisi Jakarta Raya (1960). Lantas berbagai jabatan disandangnya, berturut-turut menjadi Panglima Korps Perairan dan Udara (1964), Panglima Daerah Kepolisian II Sumatera Utara (1967), dan Kadapol VII Metro Jaya periode 1970-1974. Di sini, Kadapol Widodo bertanggung jawab atas operasi pengamanan langsung Pemilu 1971 di Jakarta, yang ketika itu agak bersuasana panas. Bahkan setelah Pemilu, dia juga harus mengamankan Sidang Umum MPR-RI yang berlangsung di Jakarta. Dalam hal ini, Widodo pun diangkat menjadi Anggota MPR-RI.

Selepas menjabat Kadapol Metro Jaya, pada 25 Juni 1974, Widodo dilantik oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Kapolri. Dia memangku jabatan Kapolri selama periode 1974-1978. Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Widodo, waktu itu tanggal 26 Juni 1974 di Istana Negara oleh Presiden Soeharto, bersamaan dengan pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Kasal Laksdya TNI R.S. Soebijakto. Yang menarik dicatat, perihal Widodo ini, adalah soal keterlibatannya secara aktif turut angkat senjata dalam Perang Kemerdekaan di Jawa Timur, ketika dia baru berusia 18 tahun. Demikian pula sewaktu terjadi berbagai pemberontakan di dalam negeri, dia ikut pula dalam upaya Operasi Penumpasan Gerombolan DI/TII, Penumpasan G.30.S/PKI dan beberapa operasi lainnya.

Untuk semua jasanya selama mengabdi kepada negara, Widodo dianugerahi sejumlah tanda jasa. Dia menerima Bintang Dharma, Bintang Bhayangkara (I dan III), Bintang Swa Buana Paksi Utama, Bintang Yudha Dharma Utama dan Bintang Jalasena Utama. Dia juga memperoleh penyematan sejumlah Satya Lencana, seperti SL Karya Bhakti, SL Yana Utama, SL Panca Warsa, SL Perang Kemerdekaan (I dan II), SL COM V, SL Penegak dan SL Veteran Pejuang RI. Sedangkan dari luar negeri, dia menerima Commandeur Met de Zwaarden, Diplomatic Service Merit Heung in Medal dan Bintang Panglima Setia Mahkota Pemerintah Malaysia.

Pada tanggal 4 Juni 1955, Widodo menikah dengan Darmiati Poeger. Dan dikaruniai tiga orang anak; Martini Indah (1957), Agus Aditono (1959) dan Destina Lestari (1961). Anak pertama menikah dengan Alex Tangyong dan dikaruniai seorang putra - Johann F. Tangyong (1983). Anak bungsunya menikah dengan Johannes Tangyong dan dikaruniai dua orang anak - David Y. Tangyong (1989) dan Kezia A. Tangyong (1992).

BIOGRAFI AWALUDDIN DJAMIN (KAPOLRI 8)

Awaloedin Djamin (Padang, Sumatera Barat , 26 September 1927 ) adalah Kapolri periode 1978-1982.

Karier
Setamat SLTA, dia melanjutkan studinya di Fakultas Ekonomi (1949-1950). Masuk menjadi prajurit polisi, kemudian menempuh pendidikan di PTIK hingga lulus tahun 1955. Dia lalu ditempatkan pada bagian Sekretariat Jawatan Kepolisian Negara (1955) dan menjabat Kasi Umum Sekretariat Jawatan Kepolisian Negara (1958). Kemudian dia memperdalam studinya di University of Pitsburghdan dilanjutkan ke University of Southern California,Amirika Serikat , hingga menggondol gelar PhD pada 1962.

Sepulang dari Amerika Serikat, Awaloedin menjabat sebagai Lektor Luar Biasa PTIK (1964). Kemudian, berturut-turut menjadi Direktur Kekaryaan Depak (1964), Anggota Musyawarah Pembantu Perencana Nasional (1965), Anggota DPRGR (1964-1966), Menteri Tenaga Kerja Kabiriet Ampera (1966), dan Deputi Pangak Urusan Khusus semasa Kapolri Hoegeng Iman Santoso (1968). Sebelum ditugaskan sebagai Dta Besar RI untuk Jerman Barat (1976), terlebih dulu dia menjadi Direktur Lembaga Administrasi Negara (1970). Dan akhirnya, dia dipanggil pulang ke Jakarta untuk dilantik oleh Presiden Soeharto menjadi Kapolri, pada 26 September 1978.

Awaloedin menjabat Kapolri selama empat tahun, dari tahun 1978 sampai tahun 1982. Selain semasa ke-pemimpinannya organisasi Polri diarahkan pada kelembagaan yang dinamis dan profesional, pada masa Awaloedin pula KUHAP UU No. 8 Tahun 1981 sebagai hasil karya bangsa Indonesia sendiri disahkan DPR-RI. KUHAP sebagai pengganti Het Herziene Inlandsh Reglement (HIR), hukum acara pidana produk kolonial Belanda yang dianggap telah usang dan tidak manusiawi. Dalam hal ini, Polri berperan aktif menyumbangkan pokok-pokok pikiran untuk materi KUHAP baru itu.

BIOGRAFI ANTON SOEDJARWO (KAPOLRI 9)

Anton Sujarwo juga merupakan nama salah seorang korban Bom Kedubes Australia 2004.
Anton Soedjarwo (lahir pada 21 September 1930 di Bandung, Jawa Barat ) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dari tahun 4 Desember 1982 hingga tahun 1986. Putranya, Rudi Soedjawo, adalah seorang sutradara film.

Alur waktu kehidupan
- 1952 Lulus dari SMU di Magelang
- 1954 Lulus dari Akademi Kepolisian (Akpol) di Sukabumi
- 1954 - 1956 Inspektur Kepala Kepolisian di Palopo
- 1956 Ajudan Kapolri Sukanto Tjokrodiatmodjo
- 1956 - 1957 Kepala Bagian Lalu-lintas di Makasar
- 1957 - 1958 Atase Seksi Hubungan Luar Negeri Biro Organisasi Markas Besar Polri
- 1959 - 1961 Komandan Pasukan di Brimob
- 1960 Pelatihan ranger di Porong
- 1961 Pelatihan infantri di AS
- 1962 - 1964 Komandan Batalyon 1232/Pelopor di Brimob
- 1962 Memimpin unit yang masuk ke Irian Barat
- 1964 - 1972 Komandan, Resimen Pelopor, Brimob.
- 1969 Lulus kursus pasukan penerjun payung di Sukasari
- 1972 - 1974 Komandan, Kores 102, Kodak 10 di Malang
- 1974 - ? Komandan, Komapta.
- ? Komandan, Komando Daerah Kepolisian (Kodak) 11 (Kalimantan Barat)
- ? - 1978 Komandan, Kodak 2 (Sumatra Utara)
- 1978 - 1982 Brigjen (Pol.), kemudian Mayjen (Pol.), Kodak 7 (Jakarta Raya)
- 1982 - 1986 KAPOLRI

BIOGRAFI MOCH. SANOESI (KAPOLRI 10)

Kapolri Moch Sanoesi mempunyai pandangan bahwa dalam menjalankan tugasnya Polri harus mengoptimalkan seluruh potensi yang ada, baik yang dimilikinya sendiri maupun yang ada pada masyarakat. Selain itu seluruh potensi yang ada juga harus didinamisir agar mampu mendukung tugas-tugas Polri. Berangkat dari sanalah kemudian Sanoesi sebagai Kapolri mencanangkan motto Optimasi dan Dinamisasi yang kemudian terkenal dengan istilah Opdin.

Sanoesi dilantik Presiden Soeharto menjadi Kapolri pada 7 Juni 1986. Dia lahir di Bogor, 15 Februari 1935. Pada usia 27 tahun, dia menamatkan PTIK Angkatan VII, dan dilantik menjadi Komisaris Polisi II. Selanjutnya, dia belajar di International Police Academy, Amerika Serikat (1969). Dia pun mengikuti pendidikan karir lainnya di Polri dan ABRI, seperti Seskopol (1970) dan Sesko ABRI-Gabungan (1976). Namun, karier Sanoesi dalam dinas kepolisian dimulai sejak menjabat sebagai Komandan Resort Kepolisian 1051 Madiun (1963-1968). Lalu menjabat Kastaf Komdin 104 Kediri (1968-1972) dan Paban III/Litbang, Komandan Pusat Kesenjataan Administrasi dan Kastaf Kobangdildat Polri (1972-1981).

Dari pengalaman bertugas di kewilayahan dan di bidang pendidikan itu, dia melihat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di lingkungan Polri diperlukan penyempurnaan mekanisme dan sistem pendidikan Polri. Lantas dia pun mengajukan wawasan bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya Polri mutlak harus dilandasi dengan penggunaan ilmu dan teknologi. Maka, lahirlah falsafah Vidya Satyatama Mitra, yang berarti: Pengetahuan adalah Sahabat Paling Setia. Agar wawasan itu terus diingat, kemudian dilekatkan pada Pataka Kobangdildat Polri berupa sasanti Widya Satyatama Mitra.

Sewaktu Sanoesi menjabat Kadis Litbang Polri (1981-1982), peran Iptek makin menjadi pengasah profesionalisme Polri. Misalnya, waktu itu, Sanoesi mengajak sejumlah pakar berbagai disiplin ilmu dari Universitas Indonesia untuk merumuskan deskripsi tentang masyarakat dari dimensi Kamtibmas. Pendidikan dan Iptek itu pula yang menjadi modal dan pengalaman berharga dalam mendinamisasikan tanggung jawabnya selaku Kapolda Kalimantan Selatan dan Tengah (1982-1984). Di Kalimantan itu pun dia menjalin dialog komunikatif dengan para tokoh masyarakat, terutama tokoh agama, dalam memelihara Kamtibmas. Dia kemudian diangkat menjadi Asisten Kepala Staf Umum ABRI Bidang Kamtibmas (Askamtibmas Kasum ABRI) pada 1984-1985, lalu menjadi Kapolda Jawa Tengah (1985).

Semua itu didasarkan pada kesadarannya bahwa proses pembangunan Polri dan citranya dalam masyarakat bukanlah merupakan proses yang ditempuh secara terpenggal-penggal, melainkan merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan dan konsisten. Atas segenap pengabdiannya, antara lain Sanoesi menerima Bintang Dharma, Bintang Bhayangkara Utama, dan Bintang Yudha Dharma Nararya. Sementara dari dunia internasional dia menerima Bintang Pratama Born (Thailand), Bintang Panglima Satya Mahkota (Malaysia) dan Comandeur de la Legian D'honneur.

BIOGRAFI KUNARTO (KAPOLRI 11)

Polisi hendaknya profesional, berwibawa dan dicintai masyarakat. Itulah kebijakan yang sempat dikemukakan Kapolri Kunarto. Memang bagi Kunarto Polri harus memberikan pengabdian kepada masyara-katnya. Dia percaya hanya dengan memberikan yang terbaiklah tugas-tugas yang dibebankan kepada Polri dapat terlaksana dengan maksimal. Itulah sebabnya moto yang dipakai sebagai Kapolri waktu itu adalah "Tekadku Pengabdian Terbaik" dan "Senyummu adalah Suksesku".

Kunarto lahir di Yogyakarta pada 8 Juni 1940. Sejak masih di bangku SD dia sudah bercita-cita menjadi polisi. Sehingga, begitu tamat SLTA (1961), dia langsung melamar menjadi polisi. Sesudah itu pada tahun 1961, Kunarto masuk PTIK Angkatan IX dan rampung pada 1970. Latar belakang pendidikan tinggi kepolisian ditambah dengan potensi yang ada pada dirinya membuat karirnya terus menanjak. Sebab, setelah menamatkan PTIK, dia langsung ditugaskan menjadi Sepri Panglima Angkatan Kepolisian (1970). Selama tahun 1971 sampai tahun 1973, dia dipercaya menjabat Dansikko 753 (Kepala Kepolisian Sektor) Matraman, Jakarta Timur.

Setelah itu, ditugaskan menjadi Kepala Sekretariat Komdak (Kasetda) Metro Jaya (1973-1975). Pada tahun inilah dia mengikuti pendidikan di Seskopol, yang kemudian menjadi Sespri Kasops Hankam dengan pangkat Letnan Kolonel (1975-1979). Pada tahap akhir jabatannya di Kasops, dia memperoleh kesempatan untuk mengikuti Sekolah Staf dan Komando Gabu-ngan ABRI (Seskogab). Setamat dari Seskogab, Kunarto mendapat tugas cukup berat, yakni menjadi perwira intelijen di Mabes Hankam/ABRI, yang kemudian diangkat sebagai Ajudan Presiden (1979-1986). Setelah itu menjadi Wakapolda Metro Jaya dengan pangkat Brigjen (1986), Kapolda Sumatera Utara (1987-1989), dan menjabat Kapolda Nusa Tenggara berpangkat Mayjen (1989-1990). Kunarto pun menjadi semakin matang dalam memimpin para anggotanya. Setelah 11 bulan menjadi Kapolda Nusra, pada 1990 diangkat menjadi Askamtibmas Kasum ABRI. Akhir-nya, persis pada tanggal 20 Februari 1991, Kunarto, yang waktu itu berpangkat Letjen, dilantik oleh Presiden Soeharto menjadi Kapolri, di Istana Negara. Selanjutnya, pada 27 Februari 1991 pagi, dilangsungkan serah terima jabatan Kapolri dari Jenderal Polisi Drs Sanoesi kepada Letjen Polisi Drs Kunarto. Masa kepemimpinan Kunarto, dinamika masyarakat Indonesia ditandai oleh berbagai kemajuan sosial, ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan nasional. Memang, selain memberikan sumbangan positif, kemajuan itu juga memiliki dampak yang antara lain berupa semakin meningkatnya kualitas kejahatan. Dan, inilah tantangan Polri, yang telah diantisipasi Kapolri Kunarto dengan cara meng-gelar berbagai pertemuan, studi dan pengkajian serta serangkaian operasi strategis kepolisian. Hasilnya memang cukup mengesankan, kondisi dan situasi Kamtibmas selama kepemimpinan Kunarto, terutama terhadap berbagai peristiwa kejahatan kontemporer, tetap bisa ditanggulangi oleh aparat Polri. Pada tahun 1967, Kunarto menyunting gadis sedesanyayang bernama Warsiyah. Pasangan Kunarto-Warsiyah dikaruniai dua orang anak laki-laki, masing-masing bernama Rino Adi Kuswaryono dan Hariadi Kuswaryono. Kunarto sendiri, sekarang ini tetap mendapat kepercayaan dari Pemerintah untuk mengemban tugas sebagai Wakil Ketua BPKP, yang kini jabatan ketuanya dipegang oleh J.B. Sumarlin. Sedangkan dalam dunia keolahragaan, Kunarto pun masih aktif menjadi Ketua Umum Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI)

BIOGRAFI BANURUSMAN ASTROSEMITRO (KAPOLRI 12)

Pribadi dan sosok Kapolri Banurusman Astrosemitro hampir tidak dapat dipisahkan dari Polri. Ada beberapa alasan utama mengapa kesimpulan itu layak ditarik. Pertama-tama Banurusman meniti kariernya dari bawah, yakni dari mulai pangkat Letnan Satu. Tetapi kemudian terbukti dia bukan saja berhasil mencapai pangkat tertinggi, Jenderal penuh, tetapi juga sekaligus berhasil menduduki jabatan Kapolri. Kemudian, jejak pengabdian dan kiprahnya di Polri juga tidak dapat diabaikan. Dia antara lain ikut membidani lahirnya manajemen operasional Situpak (Situasi, Tugas, Pelaksanaan, Administrasi, Komando dan Pengendalian). Begitu juga Banurusman lewat operasi intelejennya ikut memberantas dan membersihkan kekuatan sisa-sisa G-30 S/PKI sewaktu bertugas Polda Metro Jaya.

Pertimbangan lain, keluarga Banurusman termasuk "Keluarga Polri." Istrinya sendiri dulu ketika disunting bertugas sebagai Polisi Wanita (Polwan). Kini anak lelakinya juga terjun sebagai anggota Polri. Apalagi terbukti lebih dari separuh usianya memang dihabiskan untuk mengabdi kepada Polri. Dengan demikian tidaklah berlebihan apabila pribadi dan sosok Banurusman melekat erat pada Polri. Banurusman dilantik menjadi Kapolri ke-12 oleh Presiden Soeharto 6 April 1993 di Istana Negara, Jakarta. Banu, panggilan akrabnya, yang waktu itu berpangkat Letnan Jenderal, menggantikan Jenderal (Pol) Drs. Kunarto. Empat hari kemudian, di Mabes Polri, dilakukan upacara serah terima jabatan dari Kunarto kepada Banu.

Mengawali tugasnya sebagai Kapolri, Banu mengeluarkan kebijakan "Jati Diri Polri," yang intinya berisi agar setiap prajurit Polri selalu mengingat jati dirinya sebagai Polri. Dari kepemimpinan tampak jelas Banu bukanlah tipe orang yang senang menonjolkan diri sendiri. Dia pun selalu mengakui dan mengikuti hal-hal positif yang telah dirintis dan dikembangkan pendahulunya. Itulah sebabnya moto yang dicanangkannya sebagai Kapolri pun "Tekadku Pengabdian Terbaik, Sukses Melalui Kebersamaan, dan Suksesku adalah Senyummu." Dari moto ini terlihat dia mempertahankan moto dari pendahulunya yang memang sudah baik, dan menambahkannya sesuai dengan tuntutan pelayan masyarakat dengan mencanangkan Strategi Peningkatan Pelayan Masyarakat.

Satuan khusus ini didukung oleh kendaraan roda empat dan roda dua dengan anggota yang terlatih dan handal sehingga mampu menjadi tulang punggung kesatuan Polri dalam mengantisipasi setiap gangguan kamtibmas sehingga masyarakat benar-benar merasa aman dan tenteram. Kehadiran URC di TKP dengan cepat pertama-tama adalah pengamanan TKP dengan memberikan pita kuning bertanda "DILARANG MELINTAS GARIS POLISI" sehingga semua data, baik berupa sidik jari maupun bukti-bukti yang lain belum terjamah oleh orang lain. Hal ini memudahkan petugas Laboratorium Forensik dalam mengidentifikasi setiap bukti yang ada, dan dengan cepat pula dianalisis untuk mengungkap kejadian guna pengusutan selanjutnya.
Pada masa kepemimpinannya, Polda Metro jaya benar-benar dibuat tidak pernah tidur dan seolah-olah setiap jengkal tanah di wilayah Jabotabek ini selalu terdengar langkah anggota Polri berjalan seirama detak jarum jam. Sebelum menduduki tampuk pimpinan tertinggi Polri, jauh-jauh hari masyarakat telah meramalkan bahwa nanti Jenderal ini pasti segera berpindah kantor dari Semanggi ke Trunojoyo. Namun semua orang juga tak mengira akan secepat itu penyerahan tongkat komando dari Jenderal Polisi Drs. Banurusman kepada Letjen.Pol. Drs. Dibyo Widodo, sehingga masyarakat pun kembali dibuat seolah seperti kejadian yang tiba-tiba. Dengan pengalaman yang lengkap inilah Jenderal Dibyo Widodo mampu melangkah ke jenjang tertinggi di lingkungan Polri. 1965 yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan di Akademi Angkatan Kepolisian (1968), Bakaloreat PTIK (1972), Doktoral PTIK (1975), Sesko ABRI Bagpol (1981), Lemhannas (1993).

Penyandang brevet Para Polri, Selam Polri, Selam Angkatan Laut, dan Pandu Udara dari Kopassus Angkatan Darat ini, punya komitmen untuk meningkatkan operasional kepolisian dalam memberantas kejahatan dengan tetap memperhatikan garis-garis kebijakan pendahulunya. Catatan prestasi operasionalnya cukup menonjol ketika bertugas di Operasi Seroja Timor Timur, namun sebenarnya lonjakan kariernya tercatat setelah menyelesaikan tugas sebagai Kapolres tahun dan kemudian diangkat sebagai ADC sampai tahun . Berturut-turut setelah itu ia menjabat sebagai Irpolda , Wakapolda , Wakapolda Metro Jaya, Kapolda Metro Jaya

clan kemudian Kapolri.
Semasa menjabat Kapolda Metro Jaya banyak langkah-langkah taktis dilakukan maupun tindakan tegas yang acapkali membuat berdebar anak buahnya karena sikapnya yang menindak segala bentuk penyimpangan di lingkungan Polri maupun dalam menghadapi gangguan kamtibmas di tak segan-segan bertindak keras tanpa pandang bulu. Untuk melayani dengan cepat segala keluhan masyarakat muncullah gagasan pembentukan satuan Unit Reaksi Cepat atau lebih dikenal dengan singkatan URC, dimana setiap ada laporan dari masyarakat, dalam tempo singkat satuan Polri segera tiba di tempat kejadian.

Satuan khusus ini didukung oleh kendaraan roda empat dan roda dua dengan anggota yang terlatih dan handal sehingga mampu menjadi tulang punggung kesatuan Polri dalam mengantisipasi setiap gangguan kamtibmas sehingga masyarakat benar-benar merasa aman dan tenteram. Kehadiran URC di TKP dengan cepat pertama-tama adalah pengamanan TKP dengan memberikan pita kuning bertanda "DILARANG MELINTAS GARIS POLISI" sehingga semua data, baik berupa sidik jari maupun bukti-bukti yang lain belum terjamah oleh orang lain. Hal ini memudahkan petugas Laboratorium Forensik dalam mengidentifikasi setiap bukti yang ada,

Tugas pertamanya di kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Di kota itu pula dia sempat menjabat Komandan Kompi B, Batalyon 935 Brimob. Dari Pare-Pare, tahun 1967 dia hijrah ke Jakarta melanjutkan studinya di PTIK. Setamat PTIK tahun 1970, Banu ditugaskan di Polda Metro Jaya sebagai Intelijen Zeni untuk membantu Kasi PKN. Dalam hal ini, peran intelijen sungguh vital dalam upaya membersihkan sisa-sisa pelaku G-30-S/PKI. Selain turut dalam pembersihan G-30-S/PKI, dia pun aktif mengawasi Orang Asing dan gerakan-gerakan Ormas yang berfusi untuk menghadapi Pemilu 1971.

Rupanya. dalam perjalanan kariernya Banu sering memperoleh beban tugas yang berat dan menantang. Tempaan pengalaman-pengalaman inilah yang kelak membuatnya memiliki kepemimpinan yang matang. Misalnya dia juga ditugaskan sebagai Perwira Operasi KP-3 Tanjung Priok, yang kala itu terkenal rawan dan penyelundupan merajalela. Betapapun sederet tugas itu terasa berat, tapi dia tetap melaksanakannya dengan baik dan penuh pengabdian. Tahun 1974 dia ditunjuk sebagai Spri Kasum ABRI.

Berikut tahun 1975-1976, dia mengikuti Sespim pada Susreg II di Bandung. Setelah itu menjabat Kabag Samapta di Komtares Malang. Tahun berikutnya, dia menjadi Kapolres Banyuwangi selama dua setengah tahun. Kemudian menjabat Kasi Intelpam di Polda Jawa Timur selama sembilan bulan. Banu lantas dipindahkan ke Polda Sulselra di Ujungpandang dengan jabatan Asisten Intelijen, hingga tahun 1982. Dari sana Banu kembali lagi ke Jawa Barat. Jabatan barunya waktu itu sebagai Asintel Polda Jabar. Lalu menjadi Kapolwil Banten dari tahun 1985 sampai tahun 1986. Dari Banten, dia ditugaskan menjadi Kapolwil Cirebon. Kendati di Cirebon hanya 10 bulan, namun dia sempat membuat prestasi gemilang dengan menggulung sekelompok pelaku pencurian dengan kekerasan yang terjadi di Pom Bensin Tuparev. Ternyata, kasus Tuparev ini merupakan buntut kegiatan ekstrim kanan dengan kategori subversif.

Sejak awal sudah terlihat Banurusman memang cemerlang. Dia selalu berupaya menelurkan gagasan inovatifnya demi kemajuan Polri. Tidak heran bila dia turut aktif dalam membidani manajemen operasional Situpak (Situasi, Tugas, Pelaksanaan, Admi-nistrasi, Komando dan Pengendalian). Setelah menjelajah Pulau Jawa dan Indonesia Timur (Sulawesi), Banu dipromosikan menjadi WakaPolda Sumatera Utara di Medan. Selagi masih menjabat WakaPolda itu, dia dipanggil untuk mengikuti pendidikan Lemhannas dan setelah rampung ditugaskan menjadi WakaPolda Metro Jaya (1989-1990). Kemudian tugas baru selaku Dir Bimmas Polri sudah menunggunya.

Selama di Mabes Polri itu, dia termasuk salah seorang pemrakarsa terbentuknya Bintara Pariwisata dan Babin Kamtibmas. Memasuki tahun 1991, Banurusman meninggalkan Jakarta, dan menjabat Kapolda Jabar di Bandung. Setelah itu dia menjadi Kapolda Metro Jaya, selama 1992 hingga awal 1993. Akhirnya, pada April 1993, Banurusman dilantik oleh Presiden Soeharto menjadi Kapolri menggantikan pendahulunya, Jenderal Polisi Drs Kunarto. Kini, Banu dikaruniai tiga orang anak, seorang putra dan dua orang putri. Sang sulung, anak lelakinya, Urip Witnu Laksana, kini mengikuti jejak ayah-nya menjadi prajurit Polri. Anaknya yang kedua dan ketiga, masing-masing bernama Ratih Jelantik Pustikasari dan Pika Rustia Cempaka.

BIOGRAFI DIBYO WIDODO (KAPOLRI 13)

Garis kepemimpinan Jenderal Polisi Drs. Dibyo Widodo, kapolri ke 13 ini adalah mempertegas peran Kepolisian sebagai pengayom Masyarakat. Hal ini sesuai dengan latar belakang tugas yang diemban oleh lulusan PTIK tahun 1975, yang tidak bergeser dari berbagai permasalahan yang selalu muncul di masyarakat. Selama periode kepemimpinannya yang ditandai dengan akan adanya peristiwa penting bagi bangsa dan negara yakni Pemilihan Umum tahun 1997, menunjukkan perwira kelahiran Purwokerto 26 Mei 1946 ini memang dituntut oleh tugas yang memerlukan disiplin tinggi maupun kerjasama tim yang solid.

Garis kebijakan yang dikeluarkan sejak dilantik tanggal 18 Maret 1996 lalu tertuang dalam butir-butir kebijakan, yaitu: Sosialisasi Gerakan Displin National, Pembentukan/Kerjasama Tim, Konsistensi Pendekatan Hukum, Pelayanan Terbaik dan Amankan dan Sukseskan Pemilu 1997 & Sidang Umum MPR 1998, yang diarahkan untuk mewujudkan penampilan peroranjyan/individu, penampilan satuan dan pennmpilan operasional. Pengalaman lapangan yang luas termasuk daerah yang potensi konfliknya cukup tinggi semacam Surabaya dan Medan, cukup untuk memberi bekal bagi seorang pemimpin dengan beban yang tidak kecil.

Karir
Dibyo Widodo memulai kariernya di kepolisian sejak tanggal 1 Desember 1968 dengan pangkat Inspektur Polisi tingkat II. Mengawali tugas sebagai Perwira Operasi di Komres 1012 Surabaya, kemudian mempersunting Dewi Poernomo Aryanti sebagai isterinya, pasangan tersebut kini dikarunia tiga orang anak, satu diantaranya seorang puteri. Sebagai sosok yang menyusuri kariernya mulai dari jenjang bawah, putra pertama pasangan Drs Soekardi dan Toerniati Sukardi ini pernah menduduki 32 jabatan sebelum sampai puncak kariernya sebagai Kapolri. Hal ini dilalui dengan ketekunan menapaki berbagai jenjang pendidikan maupun kursus dan penataran. Pendidikan umumnya sendiri adalah sampai tingkat SMA pada tahun 1965 yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan di Akademi Angkatan Kepolisian (1968), Bakaloreat PTIK (1972), Doktoral PTIK (1975), Sesko ABRI Bagpol (1981), Lemhannas (1993). Penyandang brevet Para Brimob Polri, Selam Polri, Selam Angkatan Laut, dan Pandu Udara dari Kopassus Angkatan Darat ini, punya komitmen untuk meningkatkan operasional kepolisian dalam memberantas kejahatan dengan tetap memperhatikan garis-garis kebijakan pendahulunya. Catatan prestasi operasionalnya cukup menonjol ketika bertugas di Operasi Seroja Timor Timur, namun sebenarnya lonjakan kariernya tercatat setelah menyelesaikan tugas sebagai Kapolres Deli Serdang tahun 1986 dan kemudian diangkat sebagai ADC Presiden RI sampai tahun 1992. Berturut-turut setelah itu ia menjabat sebagai Irpolda Sumut, Wakapolda Nusa Tenggara , Wakapolda Metro Jaya, Kapolda Metro Jaya

clan kemudian Kapolri.
Semasa menjabat Kapolda Metro Jaya banyak langkah-langkah taktis dilakukan maupun tindakan tegas yang acapkali membuat berdebar anak buahnya karena sikapnya yang menindak segala bentuk penyimpangan di lingkungan Polri maupun dalam menghadapi gangguan kamtibmas di Ibukota tak segan-segan bertindak keras tanpa pandang bulu. Untuk melayani dengan cepat segala keluhan masyarakat muncullah gagasan pembentukan satuan Unit Reaksi Cepat atau lebih dikenal dengan singkatan URC, dimana setiap ada laporan dari masyarakat, dalam tempo singkat satuan Polri segera tiba di tempat kejadian.

Ketika menjabat Askamtibmas Kasum ABRI, Sanoesi diperintahkan menyusun Strategi Pembinaan Kamtibmas jangka sedang (1984-1988). Naskah inilah yang kelak menjadi embrio dari penggelaran Strategi Opdin (Optimasi dan Dinamisasi) sewaktu Sanoesi menjabat Kapolri. Strategi Opdin ini juga dimaksudkan sebagai benang merah kelanjutan dari kedua Strategi Kapolri sebelumnya, yaitu "Pola Dasar Pembenahan Polri" oleh Kapolri Jenderal Pol DR Awaloedin Djamin MPA, dan "Rencana Konsolidasi dan Fungsionalisasi (Rekonfu)" oleh Kapolri Jenderal Pol Anton Soedjarwo.

dan dengan cepat pula dianalisis untuk mengungkap kejadian guna pengusutan selanjutnya.
Pada masa kepemimpinannya, Polda Metro jaya benar-benar dibuat tidak pernah tidur dan seolah-olah setiap jengkal tanah di wilayah Jabotabek ini selalu terdengar langkah anggota Polri berjalan seirama detak jarum jam. Sebelum menduduki tampuk pimpinan tertinggi Polri, jauh-jauh hari masyarakat telah meramalkan bahwa nanti Jenderal ini pasti segera berpindah kantor dari Semanggi ke Trunojoyo. Namun semua orang juga tak mengira akan secepat itu penyerahan tongkat komando dari Jenderal Polisi Drs. Banurusman kepada Letjen.Pol. Drs. Dibyo Widodo, sehingga masyarakat pun kembali dibuat seolah seperti kejadian yang tiba-tiba. Dengan pengalaman yang lengkap inilah Jenderal Dibyo Widodo mampu melangkah ke jenjang tertinggi di lingkungan Polri.

BIOGRAFI ROESMANHADI (KAPOLRI 14)

Jenderal Pol. (Purn.) Roesmanhadi (lahir di Madura, Jawa Timur, 5 Maret 1946 ; umur 64 tahun) adalah mantan Kapolri periode 1998 sampai dengan 2000. Sebelumnya ia adalah Perwira Tinggi Mabes ABRI sebagai Staf Ahli Menhankam Bidang Kamtibmas.

Pendidikan militer yang pernah ditempuh oleh Roesmanhadi adalah, PTIK angkatan 11, Sespim Polisi tahun 1980, Sesko ABRI tahun 1990 dan kursus Lemhannas pada tahun 1992.
Jabatan pertama yang diemban Roesmanhadi setelah lulus PTIK adalah Irdin Res 86 Bandung Polda Jabar pada tahun 1969, kemudian meningkat terus hingga jabatan terakhir sebagai Staf Ahli Menhankam Bidang Kamtibmas yang diembannya sejak 15 Oktober 1997. Roesmanhadi juga pernah menjabat Wakapolda Kalbar pada tahun 1991, Wakapolda Jatim pada tahun 1992, Kapolda Sumatera Utara pada tahun 1993, Kapolda Jatim pada tahun 1995, Demin Kapolri pada tahun 1996.

BIOGRAFI HARIO RUSDIHARDJO (KAPOLRI 15)

Letnan Jenderal Kanjeng Pangeran Hario Rusdihardjo (lahir di Surakarta pada 7 Juli 1945 ) adalah Kepala Kepolsian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dari 4 Januari 2000 hingga 22 September 2000. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Kapolri, ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Malaysia sejak tahun 2004. Ia sempat mendapat kecaman pada awal 2005 karena meminta maaf kepada pemerintah Malaysia akibat peristiwa penginjakan dan pembakaran bendera Malaysia dalam aksi unjuk rasa di depan kedubes Malaysia soal Peristiwa Ambalat.

BIOGRAFI SUROYO BIMANTORO (KAPOLRI 16)

Jenderal Polisi Suroyo Bimantoro adalah Kapolri yang dipilih oleh Presiden Abdurrahman Wahid, akan tetapi ditentang oleh kalangan Polri. Polemik ini dipicu karena diadakannya kembali jabatan wakil kepala polisi atau wakapolri oleh presiden Abdurrahman Wahid. Kemudian gerakan ini terakomodir oleh para perwira menengah Polri yaitu antara lain Kolonel Alfons Lemau yang ingin perubahan dalam tubuh Polri dalam bentuk jabatan Wakapolri ditiadakan.

BIOGRAFI DA’I BACHTIAR (KAPOLRI 17)

Da'i Bachtiar (lahir pada 25 April 1951 di Indramayu, Jawa Barat) adalah Kapolri dari 29 November 2001hingga 7 Juli 2005 .


Saat menjabat sebagai Kapolri, ada rumor yang menyebutnya bersaing dengan Kepala Badan Intelejen Negara,
Hendropriyono.

Bom Bali 2002
Pada 15 Oktober 2002 , ia mengumumkan bahwa hasil penyelidikan para penyelidik Indonesia pada lokasi kejadian Bom Bali 2002
telah berhasil menemukan bekas bahan peledak plastik C-4.
Setelah salah satu tersangka pengebom, Amrozi, ditangkap, ia mengadakan pertemuan dengannya. Pada kesempatan itu, Bachtiar
tampak gembira, berjabatan tangan dan berfoto dengan Amrozi.

BIOGRAFI SUTANTO (KAPOLRI 18)

Jenderal Sutanto (lahir di Comal, Pemalang,Jawa Tengah, 30 September 1950) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini (sejak 8 Juli 2005).
Lulusan AKABRI tahun 1973 ini sebelumnya adalah Kepala Badan Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Narkotika Nasional. Ia pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto pada tahun 1995–1998, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatra Utara (2000), dan Kapolda Jawa Timur (17 Oktober 2000-Oktober 2002 ).


Kapolri :
Beberapa peristiwa penting semasa menjabat sebagai Kapolri:
~ pencanangan pemberantasan perjudian pada 100 hari pertama menjabat
~ dibunuhnya buronan terorisme asal Malaysia, Dr. Azahri
~ pengungkapan identitas para pelaku Bom Bali 2005
~ penyelesaian kasus penyuapan saat penanganan kasus pembobolan Bank BNI, dengan tersangka Brigjen Ismoko , Komisaris Besar Irman Santosa dan Komisaris Jendral Suyitno Landung.

BIOGRAFI BAMBANG HENDARSO DANURI (KAPOLRI 19)

Nama: Bambang Hendarso Danuri
Pangkat: Jenderal Polisi
Lahir: Bogor, 10 Oktober 1952
Agama: Islam
Jabatan: Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)

Isteri : Nanny Hartiningsih

Pendidikan : - Akademi Kepolisian (1974)
- Meraih gelar sarjana dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jakarta

Karir :
- Wakasat Sabhara Polresta Bogor Polda Jawa Barat (1975)
- Kapolres Jayapura (1993)
- Wakapolwil Bogor Polda Jawa Barat (1994)
- Kadit Serse Polda Nusa Tengggara Barat (1997)
- Kadit Serse Polda Bali (1999)
- Kadit Serse Polda Jawa Timur (2000)
- Kadit Serse Polda Metro Jaya (2005)
- Kapolda Kalimantan Selatan (2005)
- Kapolda Sumatera Utara (2005-2006)
- Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim)
Mabes Polri (2006-2008)
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia (2008-2010)


(sumber : dinamikapolisi.blogspot.com)